Excessive growth may reduce output per
worker, repress levels of living for the masses and engender strife.(Confusius
551-478 BC)
Pendahuluan
Welcome to the rainbow
country......... Indonesia di bentuk diatas ke aneka- ragaman etnis, dan
kultur, dari sabang sampai merauke, ibarat pelangi yang membentang.
Keanekeragaman ini di samping modal utama, di satu sisi juga merupakan faktor
yang menyulitkan pengambilan- pengambilan kebijakan yang bersifat urgent, strategis
dan juga representatif bagi semua golongan masyarakat. Hari ini penduduk di
Indonesia Bagian Barat demonstrasi menentang kenaikan BBM, di ujung timur
Nusantara, masyarakat Papua tertawa kecil, melihatnya, sambil bergumam “ kam di situ bbm baru naik sedikit saja, su
ribut sampe macam besok mo kiamat ka? Kitong ini minyak tanah harga 1 liter
saja sampe 50 ribu kitong anggap biasa saja.....Sebuah potret Indonesia
dengan perbedaan bukan saja budaya, tapi juga disparitas harga akibat biaya
transportasi yang besar disebabkan luasnya wilayah negara. Entah di sadari atau
tidak? Sistem sentralisasi yang menjadikan pulau jawa sebagai pusat segala
sesuatu di Indonesia ini, akhir- akhir ini baru terasa dampaknya. Sentralisasi
pusat industri, pemerintahan, bisnis, dan lain sebagainya merupakan daya tarik pendorong
terjadinya urbanisasi secara masif ke Jakarta dan kota- kota besar lain di
pulau jawa.
”Jawa masih menjadi sentral penduduk Indonesia
karena infrastruktur di Jawa jauh lebih memadai dibandingkan pulau lain,” kata
Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, di
Jakarta, Kompas, Selasa (4/3). Pada tahun 2010, Populasi Penduduk Pulau Jawa
mencapai 137 juta orang. Perancangan wilayah multifungsi yang rakus membuat
kawasan sekitar Ibu Kota tumbuh menjadi pusat pemerintahan, bisnis, keuangan,
pendidikan, industri, sekaligus jasa. Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) Armida Alisjahbana, Republika on line Jumat (7/2) mengatakan bahwa
Proyeksi penduduk Indonesia di tahun 2035 akan menembus angka 305,6 juta jiwa,
dan 50 persen dari populasi penduduk Indonesia akan tinggal di Pulau Jawa. Lebih lanjut seperti yang di muat oleh Center
for Population and Policy Studi, ”Memang tidak ada rumusan pasti berapa nilai
ideal daya dukung lingkungan suatu wilayah. Namun, banyaknya bencana
hidrometeorologis yang terjadi di Jawa awal 2014 menunjukkan rendahnya daya
dukung Jawa,” kata ahli kependudukan dari Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada, Sukamdi. Di seluruh Jawa, sepanjang 2013, terjadi
641 bencana banjir, banjir yang disertai longsor, tanah longsor, dan puting
beliung. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan bencana serupa pada 2012 yang
mencapai 727 kasus. Walau jumlahnya lebih kecil, jumlah korban tewas, warga
yang terkena dampak, dan jumlah warga yang mengungsi pada 2013 jauh lebih
besar. Tingginya populasi penduduk di pulau jawa, saat ini bukan saja
menimbulkan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, tetapi juga sangat
berdampak pada pengelolaan lingkungan hidup. Kepadatan penduduk menyebabkan
pemanfaatan lahan atau alokasi lahan untuk pemukiman tidak lagi memperhatikan kelestarian
dan keseimbangan lingkungan hidup. Pelestarian Lingkungan Hidup kali ini
menjadi fokus dari pembangunan di berbagai belahan dunia, sejak isu Perubahan
Iklim (Climate Change) dan Pemanasan Global (Global Warming) di gulirkan. Konsekuensi
logis dari hal tersebut, hampir semua wilayah atau kota- kota di dunia, harus
mempunyai perencanaan pola pembangunan dan peruntukan lahan yang memperhatikan
kelestarian lingkungan, seperti contoh penyediaan ruang terbuka hijau (green
area) yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan juga mereduksi efek
pemanasan global. Bencana alam yang terjadi terutama di Pulau Jawa, seperti
yang sudah di sebutkan tadi, lebih disebabkan oleh pemanfaatan lahan yang tidak
sesuai dengan peruntukan. Balthazar Kambuaya, mantan Menteri Lingkungan Hidup,
pada satu kesempatan pernah mengatakan bahwa, hingga kini pemerintah Indonesia
telah meratifikiasi 23 Konvensi Internasional menyangkut Pelestarian Lingkungan
Hidup (hukum.online 13/11). Ratifikasi Konvensi ini harus di jalankan oleh
pemerintah Indonesia, termasuk peruntukan lahan yang sesuai dengan fungsinya.
Permasalahannya seperti telah di kemukakan, bahwa kepadatan penduduk dalam satu
wilayah ini merupakan kendala utama, selain masalah kemiskinan, dan
pengangguran yang juga merupakan Pekerjaan Rumah yang berat bagi Pemerintah
Indonesia.
Transmigrasi,
Sejarah dan Dampaknya
Mengurangi populasi penduduk di
pulau yang berpenduduk padat, dengan cara memindahkan penduduk ke wilayah atau
daerah lain yang dianggap masih rendah populasi penduduknya merupakan hal yang
telah lama di lakukan oleh pemerintah Indonesia. Di Indonesia program
transmigrasi sudah pernah di lakukan, bahkan jauh sebelumnya (masa penjajahan),
pernah di lakukan, tetapi pada waktu itu namanya bukan transmigrasi, tetapi
kolonisation atau colonization (fearnside, 553/1997). Kata Colonization dalam www.vocabulary.com
di artikan sebagai : “ the act of setting up a colony away from one's place of
origin”, terjemahannya : kolonisasi adalah tindakan mendirikan sebuah koloni
jauh daripada tempat orang- orang tersebut (yang tinggal di koloni) berasal. Colony dalam artian bahasa inggris ; a group
of people of one nationality or ethnic group living in a foreign city or
country, sedangkan synonim dari kata colony, adalah, community, commune,
quarter, distric, ghetto. Defenisi koloni ini memberikan batasan bahwa yang di
maksud koloni adalah sekumpulan orang yang berasal dari suatu kebangsaan atau etnis
tertentu, yang tinggal di suatu daerah yang bukan wilayahnya. Menurut Jones
(fearnside, 1997), kolonisasi atau transmigrasi pertama kali dilaksanakan
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905, terhitung sejak 1905- 1931,
pemerintah pada waktu itu telah memindahkan penduduk dari pulau jawa sebanyak
27, 338 jiwa, dengan jumlah rata- rata pertahun sekitar 1013 jiwa. Nugraha
Setiawan menulis bahwa, walaupun secara demografis, pengertian umum dari
transmigrasi ini tetap sama dari masa ke masa, yaitu memindahkan penduduk dari
wilayah yang padat ke wilayah yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam
pelaksanaanya di dasarkan pada latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang
berbeda- beda, baik yang tertulis secara resmi, maupun yang terselubung.
Nugraha berpendapat, transmigrasi atau kolonisasi yang di jalankan pemerintahan
Hindia Belanda pada waktu itu adalah untuk menjalankan Politik Etis, yaitu :
politik yang mulai di terapkan sejak tahun 1900 di Indonesia, dimana politik
ini bertujuan untuk mesejahterakan masyarakat petani, yang telah di eksploitasi
pasca culture stelsel (sistem tanam
paksa). Politik ini di jalankan sebagai wujud rasa tanggung jawab moral
pemerintah Belanda, dan di jalankan melalui 3 (tiga) cara, yaitu : emigrasi,
irigasi, dan edukasi. Transmigrasi atau kolonisasi yang di jalankan saat itu
merupakan salah satu wujud dari program emigrasi. Pada tahap awal Transmigrasi
atau Kolonisatie tersebut, penduduk atau warga yang di pindahkan adalah
penduduk dari daerah Keresidan Kedu Jawa Tengah, dengan daerah tujuan Gedongtataan
Lampung Sumatera Selatan. Levang and Sevin (1990) menulis, Kolonisatie, though,
will have to wait till the years 1932 through 1941 to be at its peak. After a
low period at the end of the twenties and a financial scandal leading to bankrupt
in 1928, the world crisis that bit the country as early as 1930. Kolonisatie
dalam pelaksanaan awalnya di dukung penuh, terkait dengan pendanaannya oleh
Pemerintah, keseriusan ini di tandai dengan di bentuknya Lampungsche Volksbank,
sebuah Bank yang bertujuan untuk memberikan pinjaman kepada para petani yang
termasuk di dalam program Kolonisatie, namun karena keterbatasan kemampuan
petani untuk mengelola keuangan (pinjaman yang di berikan tidak bisa di
kembalikan), dan juga akibat krisis ekonomi pada waktu itu, Bank tersebut akhirnya
kolapse (bankrut) di Tahun 1928. Menurut Nugraha, Kolonisatie pada periode ini
belum di katakan berhasil, karena dua hal, yaitu : perencanaan yang kurang
matang dan implementasi yang menyimpang. Namun demikian, Levang and Sevin
mencatat ada kemajuan dari program tersebut, Three areas, totalizing 71,000
hectares, and a new town, Metro, are planned for in Lampung between Tegineneng
and Sukadana. On the eve of the war, more than 200,000 settlers have been
installed.
Pelaksanaan Transmigrasi di Indonesia
Tahun
(1)
|
Sumatra
(2)
|
Kalimantan
(3)
|
Sulawesi
(4)
|
Papua
(5)
|
Total
(6)
|
Prarepelita
|
|||||
1940/41
|
203200
(88,4)
|
3100
(1,3)
|
23600
(10,3)
|
0
(0)
|
229900
|
1951/59
|
197500
(89,2)
|
12100
(5,5)
|
5300
(2,4)
|
1400
(0,6)
|
221300
|
1960/69
|
116100
(76,5)
|
23000
(15,2)
|
10400
(6,9)
|
2300
(1,5)
|
151800
|
Repelita I
|
|||||
1969
|
11112
(62,3)
|
2599
(14,6)
|
4137
(23,2)
|
0
0
|
17848
|
1970
|
8350
(41,8)
|
2539
(12,7)
|
8863
(44,3)
|
233
(1,2)
|
19985
|
1971
|
12496
(55,6)
|
4383
(19,5)
|
5120
(22,8)
|
485
(2,2)
|
22484
|
1972
|
31757
(65,1)
|
7027
(14,4)
|
9538
(19,5)
|
473
(1,0)
|
48795
|
1973
|
57396
(56,8)
|
12465
(12,3)
|
30210
(29,9)
|
1001
(1,0)
|
101072
|
Total
|
637911
(78,9)
|
67213
(8,3)
|
97168
(12,0)
|
5892
(0,7)
|
808184
|
Repelita II
|
|||||
1974
|
29729
(65,0)
|
5502
(12,0)
|
9898
(21,6)
|
595
(1,3)
|
45724
|
1975
|
14284
(45,5)
|
6362
(20,3)
|
10322
(20,9)
|
425
(1,4)
|
31393
|
1976
|
22652
(44,7)
|
9869
(19,5)
|
18152
(35,8)
|
0
(0)
|
50673
|
1977
|
58865
(58,3)
|
23605
(23,4)
|
18124
(17,9)
|
448
(0,4)
|
101042
|
1978
|
73621
(65,7)
|
18800
(16,8)
|
17261
(15,4)
|
2290
(2,0)
|
111972
|
Total
|
19151
(58,4)
|
64138
(18,8)
|
73757
(21,6)
|
3758
(1,1)
|
340804
|
Repelita III
|
|||||
1979
|
151000
(60,4)
|
51500
(20,6)
|
27500
(11,0)
|
2000
(8,0)
|
250000
|
1980
|
210500
(56,1)
|
82600
(22,0)
|
62000
(16,5)
|
2000
(5,3)
|
3751000
|
1981
|
276520
(60,4)
|
92960
(20,3)
|
59035
(12,9)
|
29440
(6,1)
|
457944
|
1982
|
295595
(61,6)
|
123250
(25,7)
|
31685
(6,6)
|
29440
(6,1)
|
479970
|
1983
|
216095
(72,5)
|
38205
(12,8)
|
31715
(10,6)
|
11890
(4,0)
|
297905
|
Total
|
1149710
(61,8)
|
388515
(20,9)
|
211935
(11,4)
|
110710
(6,0)
|
1860930
|
Repelita IV
|
|||||
1984
|
153695
(54,1)
|
78320
(27,6)
|
31430
(11,1)
|
20820
(7,3)
|
284265
|
1985
|
599375
(61,8)
|
240395
(24,8)
|
79395
(8,2)
|
50675
(5,2)
|
969840
|
1986
|
59785
(55,3)
|
24810
(23,0)
|
16085
(14,9)
|
7415
(6,9)
|
108095
|
Total
|
812855
(59,7)
|
343525
(25,2)
|
126910
(9,3)
|
78910
(5,8)
|
1362200
|
Keterangan
: Angka di bagian atas adalah jumlah penduduk, sedangkan pada bagian bawah
dengan tanda (kurung) adalah persentase, Sumber Data : P.Levang & O.Sevin
Sesuai dengan keterangan diatas, bahwa
esensi Transmigrasi adalah mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, dan
juga menekan angka kemiskinan, tetapi politik yang mendasari diadakannya
Transmigrasi selalu berbeda, sesuai dengan situasi, kondisi dan juga prioritas kebijakan
pembangunan pada saat itu. Tujuan Transmigrasi setelah Indonesia merdeka (Orde
Lama), tertulis dalam UU Tahun 1960, yang menegaskan tujuan transmigrasi adalah
untuk, meningkatkan keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, serta
mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. UNDP dalam Human Development
Research Paper (2009) menulis bahwa : “Partly as the result of regional
rebellions in West Sumatra, South, and North Sulawesi during the period 1956-
1958, transmigration gained the new aim as a strategic instrument to strengthen
national integration and security”.
Memasuki Orde baru, setelah tumbangnya
kekuasaan Soekarno dan Orde Lama, politik yang mendasari pelaksanaan
Transmigrasi berbeda pada Orde sebelumnya. Orde Baru selain bermaksud untuk
melakukan pemerataan penduduk, asimilasi budaya, agenda utama yang nampak
yaitu, pelaksanaan Swasembada Pangan di
Indonesia. “In the first Plan (1969- 1973), altough the problem of population redistribution was
mentioned, it was not elaborated, however, the need to meet labour requirements
for development in the region outside
java, altough stated as a secondary goal, was given more detail attention in
the plan. In addition, the transmigration programme was expected to increase
food production outside java” (UNDP,2009). Pelaksanaan Transmigrasi pada Era
Orde Baru berbeda dengan era sebelumnya, karena Transmigrasi pada era ini
mendapat dukungan dari World Bank dan Asian Development Bank (ADB)“ A series of
World Bank loans granted between 1976 and 1992 facilitated transmigration, Bank assisted
settlements began on Sumatra, and only began in Irian Jaya with the Trans V
loan in 1985 (lihat Anderson and spear, fearnside 557). World Bank dalam
Reportnya yang bertajuk “Indonesia The Transmigration Program in Perspective”
tahun 1988, menyatakan bahwa : “between 1980 and 1986 the Indonesian
Transmigration Programme Supported the movement of more than two million people
from densely populated ‘inner island” of java, bali and lombok to the less populated “outer
island” of sumatra, kalimantan, sulawesi, and to lesser extend Irian Jaya.
..... Because of the size of the programme and because a number of settlements were
opened in forest areas, the programme attracted international attention, particulary from environment groups
concerned with deforestation and conservation. Adhiati dan Bobsien (2001), mencoba
menyimpulkan alasan – alasan di protesnya program Transmigrasi oleh berbagai
NGO’s dalam dan luar negeri, antara lain : (1) Indonesia’s Outer Island contain
some 10 percent of the world remaining rainforest and the transmigration
programme has been an important institutional source of pressure on natural
forest ; (2) Resettlement is politically inspired to control the indigenous
population in outer island ; (3) Transmigration has violated customary (adat)
land rights and is aimed at the forced assimilation of indigenous people and
forest dwellers ; (4) With average resettlement costs of 7000 US Dollar per
Familly in the mid -1980’s the programme was an economic disaster, increasing
indonesia’s national debts and –in some year- swallowing between 30- 40% of the
entire economic development budget of the outer islands ; (5) Transmigration
failed to reach it’s core goal; rather than alleviating the property, the
programme redistributed poverty, leaving the majority of transmigrants worse of
due to totally inadequate planning and site preparation, poor access to markets
and neglect of soil and water properties indespensable for a prosperous
agricultural economy ; (6) Transmigration virtually makes no dent in the
population pressure in java ; (7) The Transmigration programme has created
environmental havoc on the outer island. Pada intinya pelaksanaan Transmigrasi
bertumpu kepada 2 (dua) hal, yaitu : pemerataan jumlah penduduk, dan mengurangi
kemiskinan. Bagai dua sisi mata uang, semua kebijakan publik yang di laksanakan
dimanapun juga, pasti mempunyai dampak yang positif, dan juga dampak negatif,
kita tidak bisa menghilangkan dampak negatif, dari semua kebijakan, yang bisa
di lakukan adalah bagaimana meminimalisir dampak dari sebuah kebijakan. Yang
menarik untuk dilihat, adalah bahwa, walaupun telah di lakukan perpindahan
penduduk dari Pulau Jawa, sejak tahun 1905- 1997, namun angka fertilitas yang
tinggi serta pertumbuhan populasi penduduk tetap saja tidak bisa teratasi
(ledakan penduduk). Nugraha menulis, dengan demikian, jika dilihat dari aspek
demografis, yang dikaitkan dengan pengurangan jumlah penduduk di Pulau Jawa,
program transmigrasi ini tidak mencapai sasarannya.
Berangkat dari pernyataan
Gubernur Provinsi Papua yang secara tegas menolak pelaksanaan Transmigrasi,
maka Pemerintah seharusnya memikirkan langkah- langkah yang lebih inovatif dan bijak
dalam menangani persoalan kependudukan di Indonesia. Pelaksanaan Transmigrasi
yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama ini, seharusnya dilihat dengan
objektif, bahwa memang program ini sama sekali tidak berdampak dalam menekan
laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa. Otonomi Daerah yang telah berjalan
dalam kurun waktu 15 Tahun ini juga sangat berpengaruh terhadap paradigma masyarakat,
karena penguatan lembaga adat untuk memproteksi hak- hak masyarakat adat,
termasuk tanah ulayat, dan konsep menjadi tuan di negeri sendiri yang terlanjur
di kumandangkan pada masa- masa awal pelaksanaan reformasi, merupakan hal- hal
yang harus diperhitungkan, ketika Pemerintah akan melaksanakan program Transmigrasi.
Intinya konsep berpikir pemerataan adalah mindset yang sudah tidak sesuai
dengan perkembangan. Perubahan yang sangat pesat dalam dekade terakhir ini,
dimana Indonesia yang dulunya terkenal sebagai negara agraris, ternyata telah berubah
menjadi negara industri, hal ini nampak dari survey yang di lakukan KMPG (Klynveld
Main Goerdeler) yaitu sebuah organisasi profesional yang berpusat di Belanda,
menurut survey terbaru mereka, Usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan di
Indonesia prosentasenya 15,2 persen, jauh di bawah industri yang prosentasenya
sudah mencapai total 23,6 persen. Kenyataan
ini juga suatu hal yang patut dipikirkan oleh pemerintah dalam mengambil
langkah untuk melaksanakan program transmigrasi. Kebijakan Publik yang baik, sesuai dengan prosesnya harus berasal dari bawah, pola top down yang di praktekkan selama hampir 30 tahun lebih, pada dasarnya telah mematikan kreativitas daerah- daerah dalam menysun program pembangunan.
Sebagai warga negara kita
tunggu langkah-langkah inovatif yang akan di ambil oleh Presiden dan
pembantunya. Alasan utama di laksanakannyaTransmigrasi adalah untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang bukan saja menimbulkan masalah Sosial dan Ekonomi, tetapi juga saat ini sudah berdampak ke masalah lingkungan. Perubahan Iklim saat ini menjadi isu yang paling sering di bicarakan, bahkan merupakan tema sentral, perbedaannya kalau dulu, jaman Transmigrasi di era Orde Baru, kesadaran tentang pembangunan berwawasan lingkungan, lebih banyak menjadi fokus dari pekerjaan- pekerjaan NGO's, setelah Konferensi di Rio, isu Climated Change dan Global Warming menjadi isu yang di bicarakan berbagai negara di dunia, masalah lingkungan bukan saja isu yang di usung oleh NGO's tapi sudah menjadi konsumsi dan tanggung jawab negara- negara berkembang. Kenyataan bahwa Hutan di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa memberikan kontribusi sekitar 10 persen terhadap total luas Hutan di Dunia, merupakan alasan utama, pentingnya pelestarian dan perlindungan hutan. Sejak dahulu hampir semua NGO's di dunia menganggap bahwa program transmigrasi yang di jalankan di Indonesia, sangat berpengaruh terhadap tindakan pengerusakan hutan, karena lahan yang di tempati mengharuskan di lakukannya penebangan hutan dalam skala yang besar. Transmigrasi bukan saja merusak hutan, tapi juga dianggap merampas hak- hak ulayat masyarakat adat setempat, yang juga merupakan warga negara Indonesia. Semoga Pemerintah bisa menyeimbangkan, kepentingan pembangunan di satu sisi, dan kepentingan penegakkan hukum termasuk perlindungan hak- hak masyarakat adat.
Referensi :
- Philip.M.Fearnside, Transmigration Indonesia : Lessons from it's environmental and social impacts, spring verlag New York inc, 1997 ;
- Nugraha Setiawan, Satu Abad Transmigrasi di Indonesia, makalah tidak di publikasikan ;
- P. Levang and O Sevin, 80 years of transmigration in Indonesia 1905- 1985, Departemen Transmigrasi dan ORSTOM, Februari 1990 ;
- Riwanto Tirtosudarmo, Mobility and Human Development in Indonesia, Human Development Research Paper, UNDP 2009 ;
- Indonesia The Transmigration Program In Perspective, World Bank 1988
- M, Adriana Sri Adhiati & Armin Bobsien (ed), Indonesia's Transmigration Programme- An Update, a report paper for down to earth, juli 2001 ;
- Gubernur Papua Tolak Program Transmigrasi, Tabloid Jubi, 2 November 2014 http://tabloidjubi.com/2014/11/02/gubernur-papua-tolak-program-transmigrasi/
- Distribusi Penduduk : Jawa kian sesak, bencana mengancam, Kompas 5 Maret 2014 http://www.cpps.or.id/content/distribusi-penduduk-jawa-kian-sesak-bencana-mengancam
- Pemerintah meratifikasi 23 Perjanjian Internasional bidang lingkungan hidup, hukum online, rabu 13 Nopember 2013 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5282d4876a72f/menjaga-lingkungan-dengan-konvensi-rotterdam
(Semoga bermanfaat...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar