Senin, 10 November 2014

Ledakan Penduduk Indonesia dan Dilema Transmigrasi


 Excessive growth may reduce output per worker, repress levels of living for the masses and engender strife.(Confusius 551-478 BC)

Pendahuluan

                  Welcome to the rainbow country......... Indonesia di bentuk diatas ke aneka- ragaman etnis, dan kultur, dari sabang sampai merauke, ibarat pelangi yang membentang. Keanekeragaman ini di samping modal utama, di satu sisi juga merupakan faktor yang menyulitkan pengambilan- pengambilan kebijakan yang bersifat urgent, strategis dan juga representatif bagi semua golongan masyarakat. Hari ini penduduk di Indonesia Bagian Barat demonstrasi menentang kenaikan BBM, di ujung timur Nusantara, masyarakat Papua tertawa kecil, melihatnya, sambil bergumam “ kam di situ bbm baru naik sedikit saja, su ribut sampe macam besok mo kiamat ka? Kitong ini minyak tanah harga 1 liter saja sampe 50 ribu kitong anggap biasa saja.....Sebuah potret Indonesia dengan perbedaan bukan saja budaya, tapi juga disparitas harga akibat biaya transportasi yang besar disebabkan luasnya wilayah negara. Entah di sadari atau tidak? Sistem sentralisasi yang menjadikan pulau jawa sebagai pusat segala sesuatu di Indonesia ini, akhir- akhir ini baru terasa dampaknya. Sentralisasi pusat industri, pemerintahan, bisnis, dan lain sebagainya merupakan daya tarik pendorong terjadinya urbanisasi secara masif ke Jakarta dan kota- kota besar lain di pulau jawa.
              ”Jawa masih menjadi sentral penduduk Indonesia karena infrastruktur di Jawa jauh lebih memadai dibandingkan pulau lain,” kata Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, di Jakarta, Kompas, Selasa (4/3). Pada tahun 2010, Populasi Penduduk Pulau Jawa mencapai 137 juta orang. Perancangan wilayah multifungsi yang rakus membuat kawasan sekitar Ibu Kota tumbuh menjadi pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, pendidikan, industri, sekaligus jasa. Mantan  Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Armida Alisjahbana, Republika on line Jumat (7/2) mengatakan bahwa Proyeksi penduduk Indonesia di tahun 2035 akan menembus angka 305,6 juta jiwa, dan 50 persen dari populasi penduduk Indonesia akan tinggal di Pulau Jawa.  Lebih lanjut seperti yang di muat oleh Center for Population and Policy Studi, ”Memang tidak ada rumusan pasti berapa nilai ideal daya dukung lingkungan suatu wilayah. Namun, banyaknya bencana hidrometeorologis yang terjadi di Jawa awal 2014 menunjukkan rendahnya daya dukung Jawa,” kata ahli kependudukan dari Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Sukamdi. Di seluruh Jawa, sepanjang 2013, terjadi 641 bencana banjir, banjir yang disertai longsor, tanah longsor, dan puting beliung. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan bencana serupa pada 2012 yang mencapai 727 kasus. Walau jumlahnya lebih kecil, jumlah korban tewas, warga yang terkena dampak, dan jumlah warga yang mengungsi pada 2013 jauh lebih besar. Tingginya populasi penduduk di pulau jawa, saat ini bukan saja menimbulkan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, tetapi juga sangat berdampak pada pengelolaan lingkungan hidup. Kepadatan penduduk menyebabkan pemanfaatan lahan atau alokasi lahan untuk pemukiman tidak lagi memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup. Pelestarian Lingkungan Hidup kali ini menjadi fokus dari pembangunan di berbagai belahan dunia, sejak isu Perubahan Iklim (Climate Change) dan Pemanasan Global (Global Warming) di gulirkan. Konsekuensi logis dari hal tersebut, hampir semua wilayah atau kota- kota di dunia, harus mempunyai perencanaan pola pembangunan dan peruntukan lahan yang memperhatikan kelestarian lingkungan, seperti contoh penyediaan ruang terbuka hijau (green area) yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan juga mereduksi efek pemanasan global. Bencana alam yang terjadi terutama di Pulau Jawa, seperti yang sudah di sebutkan tadi, lebih disebabkan oleh pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan. Balthazar Kambuaya, mantan Menteri Lingkungan Hidup, pada satu kesempatan pernah mengatakan bahwa, hingga kini pemerintah Indonesia telah meratifikiasi 23 Konvensi Internasional menyangkut Pelestarian Lingkungan Hidup (hukum.online 13/11). Ratifikasi Konvensi ini harus di jalankan oleh pemerintah Indonesia, termasuk peruntukan lahan yang sesuai dengan fungsinya. Permasalahannya seperti telah di kemukakan, bahwa kepadatan penduduk dalam satu wilayah ini merupakan kendala utama, selain masalah kemiskinan, dan pengangguran yang juga merupakan Pekerjaan Rumah yang berat bagi Pemerintah Indonesia.

Transmigrasi, Sejarah dan Dampaknya
              Mengurangi populasi penduduk di pulau yang berpenduduk padat, dengan cara memindahkan penduduk ke wilayah atau daerah lain yang dianggap masih rendah populasi penduduknya merupakan hal yang telah lama di lakukan oleh pemerintah Indonesia. Di Indonesia program transmigrasi sudah pernah di lakukan, bahkan jauh sebelumnya (masa penjajahan), pernah di lakukan, tetapi pada waktu itu namanya bukan transmigrasi, tetapi kolonisation atau colonization (fearnside, 553/1997). Kata Colonization dalam www.vocabulary.com di artikan sebagai : “ the act of setting up a colony away from one's place of origin”, terjemahannya : kolonisasi adalah tindakan mendirikan sebuah koloni jauh daripada tempat orang- orang tersebut (yang tinggal di koloni) berasal.  Colony dalam artian bahasa inggris ; a group of people of one nationality or ethnic group living in a foreign city or country, sedangkan synonim dari kata colony, adalah, community, commune, quarter, distric, ghetto. Defenisi koloni ini memberikan batasan bahwa yang di maksud koloni adalah sekumpulan orang yang berasal dari suatu kebangsaan atau etnis tertentu, yang tinggal di suatu daerah yang bukan wilayahnya. Menurut Jones (fearnside, 1997), kolonisasi atau transmigrasi pertama kali dilaksanakan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905, terhitung sejak 1905- 1931, pemerintah pada waktu itu telah memindahkan penduduk dari pulau jawa sebanyak 27, 338 jiwa, dengan jumlah rata- rata pertahun sekitar 1013 jiwa. Nugraha Setiawan menulis bahwa, walaupun secara demografis, pengertian umum dari transmigrasi ini tetap sama dari masa ke masa, yaitu memindahkan penduduk dari wilayah yang padat ke wilayah yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanaanya di dasarkan pada latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda- beda, baik yang tertulis secara resmi, maupun yang terselubung. Nugraha berpendapat, transmigrasi atau kolonisasi yang di jalankan pemerintahan Hindia Belanda pada waktu itu adalah untuk menjalankan Politik Etis, yaitu : politik yang mulai di terapkan sejak tahun 1900 di Indonesia, dimana politik ini bertujuan untuk mesejahterakan masyarakat petani, yang telah di eksploitasi pasca culture stelsel (sistem tanam paksa). Politik ini di jalankan sebagai wujud rasa tanggung jawab moral pemerintah Belanda, dan di jalankan melalui 3 (tiga) cara, yaitu : emigrasi, irigasi, dan edukasi. Transmigrasi atau kolonisasi yang di jalankan saat itu merupakan salah satu wujud dari program emigrasi. Pada tahap awal Transmigrasi atau Kolonisatie tersebut, penduduk atau warga yang di pindahkan adalah penduduk dari daerah Keresidan Kedu Jawa Tengah, dengan daerah tujuan Gedongtataan Lampung Sumatera Selatan. Levang and Sevin (1990) menulis, Kolonisatie, though, will have to wait till the years 1932 through 1941 to be at its peak. After a low period at the end of the twenties and a financial scandal leading to bankrupt in 1928, the world crisis that bit the country as early as 1930. Kolonisatie dalam pelaksanaan awalnya di dukung penuh, terkait dengan pendanaannya oleh Pemerintah, keseriusan ini di tandai dengan di bentuknya Lampungsche Volksbank, sebuah Bank yang bertujuan untuk memberikan pinjaman kepada para petani yang termasuk di dalam program Kolonisatie, namun karena keterbatasan kemampuan petani untuk mengelola keuangan (pinjaman yang di berikan tidak bisa di kembalikan), dan juga akibat krisis ekonomi pada waktu itu, Bank tersebut akhirnya kolapse (bankrut) di Tahun 1928. Menurut Nugraha, Kolonisatie pada periode ini belum di katakan berhasil, karena dua hal, yaitu : perencanaan yang kurang matang dan implementasi yang menyimpang. Namun demikian, Levang and Sevin mencatat ada kemajuan dari program tersebut, Three areas, totalizing 71,000 hectares, and a new town, Metro, are planned for in Lampung between Tegineneng and Sukadana. On the eve of the war, more than 200,000 settlers have been installed.

Pelaksanaan Transmigrasi di Indonesia
Tahun
(1)
Sumatra
(2)
Kalimantan
(3)
Sulawesi
(4)
Papua
(5)
Total
(6)
Prarepelita






1940/41
203200
(88,4)
3100
(1,3)
23600
(10,3)
0
(0)
229900
1951/59
197500
(89,2)
12100
(5,5)
5300
(2,4)
1400
(0,6)
221300
1960/69
116100
(76,5)
23000
(15,2)
10400
(6,9)
2300
(1,5)
151800
Repelita I






1969
11112
(62,3)
2599
(14,6)
4137
(23,2)
0
0
17848
1970
8350
(41,8)
2539
(12,7)
8863
(44,3)
233
(1,2)
19985
1971
12496
(55,6)
4383
(19,5)
5120
(22,8)
485
(2,2)
22484
1972
31757
(65,1)
7027
(14,4)
9538
(19,5)
473
(1,0)
48795
1973
57396
(56,8)
12465
(12,3)
30210
(29,9)
1001
(1,0)
101072
Total
637911
(78,9)
67213
(8,3)
97168
(12,0)
5892
(0,7)
808184






Repelita II






1974
29729
(65,0)
5502
(12,0)
9898
(21,6)
595
(1,3)
45724
1975
14284
(45,5)
6362
(20,3)
10322
(20,9)
425
(1,4)
31393
1976
22652
(44,7)
9869
(19,5)
18152
(35,8)
0
(0)
50673
1977
58865
(58,3)
23605
(23,4)
18124
(17,9)
448
(0,4)
101042
1978
73621
(65,7)
18800
(16,8)
17261
(15,4)
2290
(2,0)
111972
Total
19151
(58,4)
64138
(18,8)
73757
(21,6)
3758
(1,1)
340804






Repelita III






1979
151000
(60,4)
51500
(20,6)
27500
(11,0)
2000
(8,0)
250000
1980
210500
(56,1)
82600
(22,0)
62000
(16,5)
2000
(5,3)
3751000
1981
276520
(60,4)
92960
(20,3)
59035
(12,9)
29440
(6,1)
457944
1982


295595
(61,6)
123250
(25,7)
31685
(6,6)
29440
(6,1)
479970






1983
216095
(72,5)
38205
(12,8)
31715
(10,6)
11890
(4,0)
297905
Total
1149710
(61,8)
388515
(20,9)
211935
(11,4)
110710
(6,0)
1860930






Repelita IV






1984
153695
(54,1)
78320
(27,6)
31430
(11,1)
20820
(7,3)
284265
1985
599375
(61,8)
240395
(24,8)
79395
(8,2)
50675
(5,2)
969840
1986
59785
(55,3)
24810
(23,0)
16085
(14,9)
7415
(6,9)
108095
Total
812855
(59,7)
343525
(25,2)
126910
(9,3)
78910
(5,8)
1362200

Keterangan : Angka di bagian atas adalah jumlah penduduk, sedangkan pada bagian bawah dengan tanda (kurung) adalah persentase, Sumber Data : P.Levang & O.Sevin

Sesuai dengan keterangan diatas, bahwa esensi Transmigrasi adalah mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, dan juga menekan angka kemiskinan, tetapi politik yang mendasari diadakannya Transmigrasi selalu berbeda, sesuai dengan situasi, kondisi dan juga prioritas kebijakan pembangunan pada saat itu. Tujuan Transmigrasi setelah Indonesia merdeka (Orde Lama), tertulis dalam UU Tahun 1960, yang menegaskan tujuan transmigrasi adalah untuk, meningkatkan keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. UNDP dalam Human Development Research Paper (2009) menulis bahwa : “Partly as the result of regional rebellions in West Sumatra, South, and North Sulawesi during the period 1956- 1958, transmigration gained the new aim as a strategic instrument to strengthen national integration and security”.
Memasuki Orde baru, setelah tumbangnya kekuasaan Soekarno dan Orde Lama, politik yang mendasari pelaksanaan Transmigrasi berbeda pada Orde sebelumnya. Orde Baru selain bermaksud untuk melakukan pemerataan penduduk, asimilasi budaya, agenda utama yang nampak yaitu,  pelaksanaan Swasembada Pangan di Indonesia. “In the first Plan (1969- 1973), altough  the problem of population redistribution was mentioned, it was not elaborated, however, the need to meet labour requirements  for development in the region outside java, altough stated as a secondary goal, was given more detail attention in the plan. In addition, the transmigration programme was expected to increase food production outside java” (UNDP,2009). Pelaksanaan Transmigrasi pada Era Orde Baru berbeda dengan era sebelumnya, karena Transmigrasi pada era ini mendapat dukungan dari World Bank dan Asian Development Bank (ADB)“ A series of World Bank loans granted between 1976 and 1992  facilitated transmigration, Bank assisted settlements began on Sumatra, and only began in Irian Jaya with the Trans V loan in 1985 (lihat Anderson and spear, fearnside 557). World Bank dalam Reportnya yang bertajuk “Indonesia The Transmigration Program in Perspective” tahun 1988, menyatakan bahwa : “between 1980 and 1986 the Indonesian Transmigration Programme Supported the movement of more than two million people from densely populated ‘inner island” of java,  bali and lombok to the less populated “outer island” of sumatra, kalimantan, sulawesi, and to lesser extend Irian Jaya. ..... Because of the size of the programme and because a number of settlements were opened in forest areas, the programme attracted international  attention, particulary from environment groups concerned with deforestation and conservation.  Adhiati dan Bobsien (2001), mencoba menyimpulkan alasan – alasan di protesnya program Transmigrasi oleh berbagai NGO’s dalam dan luar negeri, antara lain : (1) Indonesia’s Outer Island contain some 10 percent of the world remaining rainforest and the transmigration programme has been an important institutional source of pressure on natural forest ; (2) Resettlement is politically inspired to control the indigenous population in outer island ; (3) Transmigration has violated customary (adat) land rights and is aimed at the forced assimilation of indigenous people and forest dwellers ; (4) With average resettlement costs of 7000 US Dollar per Familly in the mid -1980’s the programme was an economic disaster, increasing indonesia’s national debts and –in some year- swallowing between 30- 40% of the entire economic development budget of the outer islands ; (5) Transmigration failed to reach it’s core goal; rather than alleviating the property, the programme redistributed poverty, leaving the majority of transmigrants worse of due to totally inadequate planning and site preparation, poor access to markets and neglect of soil and water properties indespensable for a prosperous agricultural economy ; (6) Transmigration virtually makes no dent in the population pressure in java ; (7) The Transmigration programme has created environmental havoc on the outer island. Pada intinya pelaksanaan Transmigrasi bertumpu kepada 2 (dua) hal, yaitu : pemerataan jumlah penduduk, dan mengurangi kemiskinan. Bagai dua sisi mata uang, semua kebijakan publik yang di laksanakan dimanapun juga, pasti mempunyai dampak yang positif, dan juga dampak negatif, kita tidak bisa menghilangkan dampak negatif, dari semua kebijakan, yang bisa di lakukan adalah bagaimana meminimalisir dampak dari sebuah kebijakan. Yang menarik untuk dilihat, adalah bahwa, walaupun telah di lakukan perpindahan penduduk dari Pulau Jawa, sejak tahun 1905- 1997, namun angka fertilitas yang tinggi serta pertumbuhan populasi penduduk tetap saja tidak bisa teratasi (ledakan penduduk). Nugraha menulis, dengan demikian, jika dilihat dari aspek demografis, yang dikaitkan dengan pengurangan jumlah penduduk di Pulau Jawa, program transmigrasi ini tidak mencapai sasarannya.
                Berangkat dari pernyataan Gubernur Provinsi Papua yang secara tegas menolak pelaksanaan Transmigrasi, maka Pemerintah seharusnya memikirkan langkah- langkah yang lebih inovatif dan bijak dalam menangani persoalan kependudukan di Indonesia. Pelaksanaan Transmigrasi yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama ini, seharusnya dilihat dengan objektif, bahwa memang program ini sama sekali tidak berdampak dalam menekan laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa. Otonomi Daerah yang telah berjalan dalam kurun waktu 15 Tahun ini juga sangat berpengaruh terhadap paradigma masyarakat, karena penguatan lembaga adat untuk memproteksi hak- hak masyarakat adat, termasuk tanah ulayat, dan konsep menjadi tuan di negeri sendiri yang terlanjur di kumandangkan pada masa- masa awal pelaksanaan reformasi, merupakan hal- hal yang harus diperhitungkan, ketika Pemerintah akan melaksanakan program Transmigrasi. Intinya konsep berpikir pemerataan adalah mindset yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan. Perubahan yang sangat pesat dalam dekade terakhir ini, dimana Indonesia yang dulunya terkenal sebagai negara agraris, ternyata telah berubah menjadi negara industri, hal ini nampak dari survey yang di lakukan KMPG (Klynveld Main Goerdeler) yaitu sebuah organisasi profesional yang berpusat di Belanda, menurut survey terbaru mereka, Usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan di Indonesia prosentasenya 15,2 persen, jauh di bawah industri yang prosentasenya sudah mencapai total 23,6 persen.  Kenyataan ini juga suatu hal yang patut dipikirkan oleh pemerintah dalam mengambil langkah untuk melaksanakan program transmigrasi. Kebijakan Publik yang baik, sesuai dengan prosesnya harus berasal dari bawah, pola top down yang di praktekkan selama hampir 30 tahun lebih, pada dasarnya telah mematikan kreativitas daerah- daerah dalam menysun program pembangunan.
                 Sebagai warga negara kita tunggu langkah-langkah inovatif yang akan di ambil oleh Presiden dan pembantunya. Alasan utama di laksanakannyaTransmigrasi adalah untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang bukan saja menimbulkan masalah Sosial dan Ekonomi, tetapi juga saat ini sudah berdampak ke masalah lingkungan. Perubahan Iklim saat ini menjadi isu yang paling sering di bicarakan, bahkan merupakan tema sentral, perbedaannya kalau dulu, jaman Transmigrasi di era Orde Baru, kesadaran tentang pembangunan berwawasan lingkungan, lebih banyak menjadi fokus dari pekerjaan- pekerjaan NGO's, setelah Konferensi di Rio, isu Climated Change dan Global Warming menjadi isu yang di bicarakan berbagai negara di dunia, masalah lingkungan bukan saja isu yang di usung oleh NGO's tapi sudah menjadi konsumsi dan tanggung jawab negara- negara berkembang. Kenyataan bahwa Hutan di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa memberikan kontribusi sekitar 10 persen terhadap total luas Hutan di Dunia, merupakan alasan utama, pentingnya pelestarian dan perlindungan hutan. Sejak dahulu hampir semua NGO's di dunia menganggap bahwa program transmigrasi yang di jalankan di Indonesia, sangat berpengaruh terhadap tindakan pengerusakan hutan, karena lahan yang di tempati mengharuskan di lakukannya penebangan hutan dalam skala yang besar. Transmigrasi bukan saja merusak hutan, tapi juga dianggap merampas hak- hak ulayat masyarakat adat setempat, yang juga merupakan warga negara Indonesia. Semoga Pemerintah bisa menyeimbangkan, kepentingan pembangunan di satu sisi, dan kepentingan penegakkan hukum termasuk perlindungan hak- hak masyarakat adat.
                   
Referensi :
  1. Philip.M.Fearnside, Transmigration Indonesia : Lessons from it's environmental and social impacts, spring verlag New York inc, 1997 ;
  2. Nugraha Setiawan, Satu Abad Transmigrasi di Indonesia, makalah tidak di publikasikan ;
  3. P. Levang and O Sevin, 80 years of transmigration in Indonesia 1905- 1985, Departemen Transmigrasi dan ORSTOM, Februari 1990 ;
  4. Riwanto Tirtosudarmo, Mobility and Human Development in Indonesia, Human Development Research Paper, UNDP 2009 ;
  5. Indonesia The Transmigration Program In Perspective, World Bank 1988
  6. M, Adriana Sri Adhiati & Armin Bobsien (ed), Indonesia's Transmigration Programme- An Update, a report paper for down to earth, juli 2001 ;
  7. Gubernur Papua Tolak Program Transmigrasi, Tabloid Jubi, 2 November 2014 http://tabloidjubi.com/2014/11/02/gubernur-papua-tolak-program-transmigrasi/
  8. Distribusi Penduduk : Jawa kian sesak, bencana mengancam, Kompas 5 Maret 2014 http://www.cpps.or.id/content/distribusi-penduduk-jawa-kian-sesak-bencana-mengancam
  9. Pemerintah meratifikasi 23 Perjanjian Internasional bidang lingkungan hidup, hukum online, rabu 13 Nopember 2013 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5282d4876a72f/menjaga-lingkungan-dengan-konvensi-rotterdam




(Semoga bermanfaat...)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar