Climate Change
Does Not Respect Border, It does not respect who you are- rich and poor, small
and big, therefore this is what we call Global Challenge’s, which require
Global Solidarity (Ban Ki- Moon)
Pengantar
Climate
Change atau perubahan iklim, benar- benar, jadi momok yang menakutkan bagi
masyarakat dunia di era millenium. Dampak buruk dari perubahan iklim ini, dari
waktu, ke waktu dapat kita lihat secara nyata. Bencana alam yang terjadi beruntun
di berbagai belahan dunia, bahkan di Indonesia, merupakan bukti bahwa, sebagai
penduduk dunia, dimana pun kita berada, apapun yang kita lakukan, kita pasti
akan terkena dampak dari perubahan iklim (climate change) yang terjadi secara
global. Pernyataan Ketua Prodi Magister
Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana (SPs)UGM, Prof.Dr. Sudibyakto, M.S bahwa 80 persen Bencana Alam yang terjadi di
Indonesia, di sebabkan oleh Perubahan Iklim (UGM senin, 09 December 2013),
menegaskan pernyataan tersebut diatas, sebagai bagian dari dunia, Indonesia
juga tidak luput dari dampak- dampak buruk yang di sebabkan oleh Climated
Change (Perubahan Iklim). Perubahan suhu
(panas), permukaan air laut yang terus naik, wabah penyakit, ini merupakan
tanda- tanda dari perubahan iklim yang sedang terjadi. Pertanyaannya, lantas
apa yang harus kita lakukan? Penyebab Perubahan Iklim, menurut penelitian dari
para pakar atau peneliti, adalah aktivitas manusia yang berdampak kepada
peningkatan jumlah karbondioksida dan emisi gas rumah kaca (GRK). Aktivitas
manusia yang berdampak pada peningkatan jumlah karbondioksida dan emisi GRK
antara lain disebabkan oleh kebutuhan akan energi, dalam membangkitkan atau
menciptakan energi, manusia lebih banyak
menggunakan bahan bakar minyak yang menghasilkan karbondioksida terutama pada
sektor industri dan transportasi. Selain
kebutuhan akan energi, aktivitas manusia yang sangat berpengaruh yaitu,
penebangan dan pembakaran hutan. Center For International Forestry Research
(CIFOR, 2010) dalam sebuah Reportnya, menjelaskan bahwa Deforestasi
(Penebangan) dan Degradasi Hutan menyebabkan bertambahnya jumlah karbondioksida
sekitar 20 persen per- tahun, dan jumlah ini jauh lebih besar dari prosentase
karbondioksida yang dihasilkan dari sektor transportasi, secara global. Report
itu juga menegaskan bahwa, dari sekitar 32 Milyar Ton jumlah Karbondioksida
yang di hasilkan manusia dalam setahun, sekitar 5 Milyar Ton dari total volume
Karbondioksida yang dilepaskan tersebut, di serap kembali oleh Hutan.
Mengurangi jumlah emisi Gas Rumah Kaca dan Karbondioksida adalah solusi yang harus
dilakukan terkait dengan Climate Change. Ada 2 (dua) hal yang sekarang ini
dilakukan Negara- negara dalam menghadapi Climate Change, yaitu pencarian
sumber- sumber energi terbarukan (renewable energy) untuk pemenuhan kebutuhan
energi, dan solusi yang kedua, yaitu pelestarian hutan. Solusi pertama
(renewable energy) banyak di lakukan di negara- negara maju, sedangkan di
negara- negara yang baru berkembang, kebanyakan menjalankan solusi kedua,
mengandalkan hutan sebagai sarana penyerapan karbondioksida yang terjadi secara
natural. Terkait dengan hutan dan pembangunan daerah, sejak memasuki Era
Otonomi Daerah yang berlaku tahun 1999, pusat melegitimasi daerah untuk
mengoptimalkan pendapatan dari sumber-
sumber kekayaan alam yang di anggap mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Policy ini, kadang di terjemahkan secara parsial oleh daerah- daerah
tertentu dalam mengoptimalkan sumber- sumber kekayaan alam, termasuk hutan, di
satu sisi dirasakan sebagai wujud untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan
dalam membiayai pembangunan di daerah, tetapi tanpa pengawasan terkait
kewajiban menjaga kelestarian alam, kebijakan ini tentu saja sangat merugikan
masyarakat pada masa yang akan datang. Vitalnya hutan dalam konteks pengurangan
emisi GRK dan Karbondioksida, sudah seharusnya menjadi fokus dari pembangunan
yang akan di laksanakan. Menurut CIFOR dalam satu reportnya, menyatakan bahwa,
10 persen dari hutan dunia berada di Indonesia, tepatnya di Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Artinya hutan di Indonesia memliliki peran yang
cukup besar bagi upaya- upaya mereduksi emisi GRK dan Karbondioksida. Greenpeace
Indonesia di tahun 2012, pernah merilis data kerusakan (deforestasi) hutan yang
terjadi Provinsi Papua, yaitu sekitar 300 ribu hektar hutan papua telah rusak.
Menurut CIFOR, deforestasi hutan banyak di sebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu
: penggunaan lahan (land use), alih guna lahan (land use change) dan kehutanan
(forestry). Terkait dengan pentingnya nilai hutan bagi dunia, perlu sekali di
kembangkan pola pembangunan yang sustainable, bukan hanya sebatas konsep,
tetapi benar- benar mengadaptasi konsep sustainable development dalam
perencanaan pembangunan yang akan di laksanakan, terutama di Provinsi Papua.
Climate Change
Terminologi
Climate Change di definisikan dalam berbagai pendapat, antara lain, menurut
Oxford Dictionary : changes in the
earth's weather, including changes in temperature, wind patterns and rainfall,
especially the increase in the temperature of the earth's atmosphere that is
caused by the increase of particular gases, especially carbon dioxide. Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menerjemahkan Climated Change sebagai ......a change in the state of the climate
that can be identified (e.g. using statistical tests) by changes in the mean
and/or the variability of its properties, and that persists for an extended
period, typically decades or longer. It refers to any change in climate over
time, whether due to natural variability or as a result of human activity.
Dari kedua defenisi diatas, ada beberapa hal yang menurut saya jadi inti dari
pada defenisi tersebut, yang pertama, perubahan iklim, yang menyangkut cuaca,
seperti curah hujan, kenaikan suhu atau temperatur di suatu wilayah, kedua,
perubahan itu bisa terjadi secara periodik dan dan dapat diukur dengan
statistik atau berbagai indikator lain, dan yang ketiga, perubahan sebagaimana
di maksud, lebih di sebabkan oleh karena ulah manusia (human activity) yang
berdampak meningkatnya kadar karbondioksi da dan emisi gas rumah kaca. Secara umum
ada 2 (dua) aktivitas manusia yang berdampak pada pelepasan (releasing)
karbondioksida, yaitu penggunaan bahan bakar minyak (fuel) untuk menghasilkan
energi, seperti mesin- mesin pabrik, dan sarana transportasi, serta yang
berikut, kegiatan penebangan dan pembakaran hutan secara besar- besaran. Pelepasan
Karbondioksida dan Emisi Rumah Kaca ini berdampak pada menebalnya selubung
atmosfer, sehingga panas terperangkap, panas itu kemudian dipantulkan kembali
ke bumi. “Selubung” Emisi Rumah Kaca yang terbentuk secara alami di lapisan
troposfer - kurang lebih 1% dari komposisi atmosfer keseluruhan – memiliki
fungsi yang vital untuk iklim di bumi. Ketika energi matahari dalam bentuk
gelombang tampak masuk dan menghangatkan permukaan bumi, bumi yang jauh lebih dingin
daripada matahari kemudian mengemisikan energi tersebut kembali ke angkasa
dalam bentuk gelombang inframerah atau thermal, radiasi. Emisi Rumah Kaca akan
menghalangi radiasi inframerah tersebut agar tidak kembali keangkasa. Union Of
Concerned Scientist, sebuah organisasi peneliti yang bermarkas di Amerika tahun
2011 merilis data negara- negara yang dengan kegiatannya industrinya ikut
berpengaruh terhadap peningkatan emisi Karbondioksida, antara lain :
Negara
|
Total Emisi Karbondioksida dari konsumsi Energi
|
Rata- rata Emisi Karbondioksida dari konsumsi energi per individu
|
China
|
8715,31 juta
metrik ton
|
6. 52
metrik ton
|
Amerika Serikat
|
5449,63 juta metrik ton
|
12. 62 metrik ton
|
Rusia
|
1788,14 juta
metrik ton
|
12. 55 metrik ton
|
India
|
1725,76 juta metrik ton
|
1. 45 metrik
ton
|
Jepang
|
1180,62 juta
metrik ton
|
9. 26
metrik ton
|
Jerman
|
748,49 juta metrik ton
|
9. 19 metrik ton
|
Iran
|
624,86 juta metrik ton
|
8. 02
metrik ton
|
Korea Selatan
|
610.95 juta metrik ton
|
12. 53
metrik ton
|
Kanada
|
552.56 juta metrik ton
|
16. 24
metrik ton
|
Arab Saudi
|
513.53 juta metrik ton
|
19. 65
metrik ton
|
Inggris
|
496.80 juta metrik ton
|
7. 92
metrik ton
|
Brazil
|
475.41 juta metrik ton
|
2. 41 metrik ton
|
Meksiko
|
462.29 juta metrik ton
|
4. 07
metrik ton
|
Afrika Selatan
|
461.57 juta metrik ton
|
9. 42 metrik ton
|
Indonesia
|
426.79juta
metrik ton
|
1.73
metrik ton
|
Sumber Union Concerned
Scientist : http://www.ucsusa.org/global_warming/science_and_impacts/science/each-countrys-share-of-co2.html#.VG4yvvldyT9
Dari
tabel diatas, Indonesia berada di peringkat 15 sebagai negara yang berkontribusi
terhadap meningkatnya karbondioksida, tempat teratas di duduki Cina, menyusul
Amerika di tempat ke dua. Selain polusi (aktivitas transportasi) dan efek dari
industri/pabrik dan lain sebagainya, Indonesia juga paling sering mengalami
kebakaran hutan, yang juga menjadi sumber meningkatnya jumlah karbondioksida.
Saat Karbondioksida meningkat, maka akan berpengaruh kepada meningkatnya suhu
atau temperatur bumi. IPCC (Intergovernmental Panel On Climated Change) dalam
Third Assesment Reportnya, menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi rata- rata
sekitar 1 derajat celcius per 100 tahun. Pertanyaanya, apa yang akan terjadi
bila suhu atau temperatur bumi ini meningkat? Nicholas Stern, seorang anggota Grantham
Research Institute on Climated Change and The Environment dari London School Of
Economics pada tahun 2006 mengeluarkan sebuah report bagi pemerintah Inggris
(Stern Review of Economics Challenge) Report atau Laporan setebal 700 halaman
ini berkisar seputar, peluang- peluang ekonomi yang akan terjadi di masa depan.
Inti dari report ini adalah bahwa, kalaupun Negara- negara maju bisa berhasil
meningkatkan pembangunan ekonomi di masa depan, dampak climate change akan
memangkas anggaran hingga mencapai 5 s/d 20 persen dari total nilai PDB (Produk
Domestik Bruto) atau Pendapatan Kotor Negara itu sendiri. Report ini juga
selain menyoroti peluang ekonomi, juga di sertai tinjauan tentang lingkungan,
stern report menyatakan bahwa, ketika suhu udara di dunia naik 1 derajat
celcius, dampak yang di hasilkan, antara lain, beberapa gletser kecil di Andes
menghilang seluruhnya dan hal ini akan berdampak pada berkurangnya persediaan
air bagi 50 juta orang, sekitar 300.000 orang setiap tahunnya meninggal karena
penyakit akibat perubahan iklim (terutama diare, malaria, dan kekurangan gizi),
lapisan es di belahan bumi utara mencair dan menyebabkan kerusakan jalan-jalan
dan bangunan-bangunan di sebagian Kanada dan Rusia, dan setidaknya 10% spesies
darat akan punah, 80% terumbu karang rusak, termasuk Terumbu Karang Great
Barrier terbesar di dunia yang terletak di timur laut Australia. Dampak
lingkungan secara global ketika suhu udara naik 2 derajat celcius menurut stern
report antara lain : air menyusut
sebesar 20–30% di beberapa wilayah yang rentan, seperti Afrika bagian Selatan
dan Mediterania, hasil panen diprediksi akan merosot tajam di wilayah-wilayah
tropis (5-10% di Afrika), 40-60 juta lebih orang akan menderita malaria di
Afrika, sekitar 10 juta orang lebih menderita banjir setiap tahunnya, 15-40%
spesies terancam punah, spesies Kutub
Utara, misal beruang kutub dan karibu (rusa kutub), kemungkinan besar bisa
punah, lapisan es Greenland mulai mencair tak terkendali.
Report
ini sangat berdampak pada policy yang akan dikembangkan di Negara- negara
berkembang, John Howard Perdana Menteri Australia di tahun 2006 setelah membaca
report dari Profesor Stern langsung mengumumkan untuk mengalokasikan sekitar 60
juta US Dollar terkait kegiatan yang bertujuan untuk mereduksi emisi GRK dan
Karbondioksida. Fakta ini membuktikan bahwa, Climate Change benar- benar
persoalan global, karena walaupun tidak termasuk dalam daftar negara- negara
yang berkontribusi pada meningkatnya Emisi GRK dan Karbondioksida, namun
Australia juga akan terkena dampak, seperti Laporan yang di buat Prof. Stern,
hal ini sesuai dengan seruan Ban Ki- Moon di awal tulisan ini, bahwa Climate
Change adalah masalah global, untuk menyelesaikan persoalan ini, kita tidak
bisa berjalan sendiri, kita perlu berpikir secara global dan bertindak juga
secara global.
Adaptasi
Konsep Sustainable Development dalam perencanaan Pembangunan Daerah di Provinsi
Papua.
Tujuan
Pembangunan Nasional seperti tertulis dalam Mukadimah UUD 1945, yaitu : untuk
mencapai kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Cita- cita luhur ini menjadi dasar dari semua
program- program pembangunan yang akan di laksanakan. Artinya, apapun yang di
lakukan Pemerintah menyangkut perencanaan pembangunan di daerah, haruslah
berdampak kepada kesejahteraan rakyat secara luas. Paradigma awal yang selama
ini ada di mind set atau benak baik penduduk asli Papua, maupun penduduk
Indonesia secara keseluruhan adalah bahwa, Papua dengan total luas wilayah
sekitar 309.934.4 km2, dan kepadatan penduduk 2.831.381 jiwa, merupakan
daerah yang kaya dengan potensi Sumber Daya Alam, baik Hutan, Perairan,
Pertambangan, dan lain sebagainya. Paradigma ini di satu sisi meningkatkan
pride (kebanggaan) dan dignity (martabat) bukan saja orang Papua tetapi juga
bangsa Indonesia secara umum, sebagai konsekuensi dari integrasi Papua ke NKRI.
Namun paradigma ini juga berdampak pada pola perencanaan pembangunan yang tidak
memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Data Greenpeace pada
bagian awal tulisan ini juga turut memberikan bukti bahwa, pola perencanaan
pembangunan di papua, belum sepenuhnya mengadaptasi konsep sustainability
development. Defenisi Sustainability Development kebanyakan mengikuti defenisi
dari Burtland (1997) “Sustainable development is development that meets the
needs of the present without compromising the ability of future generations to
meet their own needs” terjemahannya konsep pembangunan yang memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Membandingkan
defenisi dari konsep sustainability dan tujuan pembangunan nasional yang
tercantum dalam UUD 1945, setidaknya ada sedikit perluasan makna. Kesejahteraan
menurut UUD 1945, bisa saja di terjemahkan untuk kesejahteraan masyarakat hari
ini, berbeda dengan konsep sustainable yang bertujuan bukan saja untuk
kebutuhan masyarakat hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang
(berkelanjutan). Konsep Sustainable Development ini dikenal sejak tahun 1972,
saat berlangsung Konferensi PBB di Stockholm Swedia, yang pada akhirnya
membentuk United Nation Environment Programme (UNEP). Konsep Sustainable
Development ini kemudian di adaptasi lebih lanjut ke dalam perencanaan
pembangunan di negara- negara berkembang, seperti negara- negara di kawasan
Mediterannia (Mediterranian Action Plan) yang mengadaptasi konsep pembangunan
ini. Mengapa konsep Sustainable Development ini begitu penting untuk di
laksanakan di berbagai negara? Konsep Sustainability, bukan saja menembus batas
waktu (terkait dengan generasi setelah kita), konsep ini juga menuntun kita
untuk berpikir menembus ruang, sebagai penduduk dunia, dimanapun kita berada,
kita pasti akan terkena dampak dari yang namanya climate change, contoh,
pembakaran hutan yang terjadi di Indonesia dan menghasilkan peningkatan jumlah
Emisi GRK dan Karbondioksida di atmosfer, sudah pasti akan berdampak ke
mencairnya es di benua antartika. Intinya konsep Sustainability mengajak kita
melihat dunia ini sebagai suatu sistem, sistem yang menghubungkan kita dengan
waktu, dan sistem yang menghubungkan kita dengan ruang. Paradigma Papua sebagai
wilayah yang luas dan memiliki kekayaan baik hutan dan sumber daya lain, sudah
seharusnya di rubah. Dengan berpola pikir kritis, dan global, kita mampu membuat
perencanaan pembangunan yang memikirkan generasi di masa datang dan juga papua
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dunia. Konsep kunci dari Sustainable
Development berada pada dua hal, yaitu :
Kebutuhan, yakni
kesadaran akan adanya kebutuhan masyarakat miskin di negara- negara lain
(negara berkembang).
Keterbatasan, yakni adanya
keterbatasan dari teknologi dan organisasi sosial yang berkaitan dengan
kapasitas lingkungan untuk mencukupi kebutuhan generasi sekarang dan generasi
yang akan datang.
Ada
sebuah pembelajaran berharga dari negara kecil yang dulunya sangat kaya di
Kepulauan Pasifik, Republik Nauru. Nauru dikenal juga dengan Pleasent Island,
negara ini merupakan Republik terkecil di dunia, dengan luas sekitar 21 km2,
dan populasi penduduk sekitar 9 ribu jiwa. Di tahun 1940-an Nauru begitu
terkenal karena kandungan fosfatnya. Penduduknya benar- benar menikmati hidup
yang sejahtera, karena segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan masyarakat di
subsidi seluruhnya oleh Negara, yang pendapatannya meningkat dari pertambangan
fosfat. Sampai akhirnya Negara ini dinyatakan bankrut, karena persediaan fosfat
telah habis setelah ditambang selama hampir 90 tahun. Sampai hari ini Nauru
mewarisi Hutang Luar Negeri, polusi akibat penambangan yang tidak memikirkan
kelanjutan (sustainable) keseimbangan dan kelestarian lingkungan, dan mereka
hanya bisa mendapatkan devisa dari menyewakan pulaunya ke Pemerintah Australia
sebagai tempat penampungan pengungsi dari Timur Tengah. Ini hanya potret dari
kesalahan perencanaan yang tidak memikirkan keberlanjutan (sustainable) dari
sebuah program pembangunan. Mudah- mudahan konsep Sustainable Development yang
sudah tidak asing, dan mungkin sudah di praktekkan di Papua, bisa benar- benar
di laksanakan, tidak terbatas hanya pada konsepnya saja. Semoga tulisan ini
bermanfaat, salam hormat.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar