Sabtu, 22 November 2014

CLIMATE CHANGE (PERUBAHAN IKLIM) DAN DAMPAKNYA, UPAYA MEMBANGUN KESADARAN KOLEKTIF TENTANG PENTINGNYA ADAPTASI KONSEP SUSTAINABLE DEVELOPMENT DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

Climate Change Does Not Respect Border, It does not respect who you are- rich and poor, small and big, therefore this is what we call Global Challenge’s, which require Global Solidarity (Ban Ki- Moon)

Pengantar
Climate Change atau perubahan iklim, benar- benar, jadi momok yang menakutkan bagi masyarakat dunia di era millenium. Dampak buruk dari perubahan iklim ini, dari waktu, ke waktu dapat kita lihat secara nyata. Bencana alam yang terjadi beruntun di berbagai belahan dunia, bahkan di Indonesia, merupakan bukti bahwa, sebagai penduduk dunia, dimana pun kita berada, apapun yang kita lakukan, kita pasti akan terkena dampak dari perubahan iklim (climate change) yang terjadi secara global. Pernyataan Ketua Prodi  Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana (SPs)UGM, Prof.Dr. Sudibyakto, M.S  bahwa 80 persen Bencana Alam yang terjadi di Indonesia, di sebabkan oleh Perubahan Iklim (UGM senin, 09 December 2013), menegaskan pernyataan tersebut diatas, sebagai bagian dari dunia, Indonesia juga tidak luput dari dampak- dampak buruk yang di sebabkan oleh Climated Change (Perubahan Iklim).  Perubahan suhu (panas), permukaan air laut yang terus naik, wabah penyakit, ini merupakan tanda- tanda dari perubahan iklim yang sedang terjadi. Pertanyaannya, lantas apa yang harus kita lakukan? Penyebab Perubahan Iklim, menurut penelitian dari para pakar atau peneliti, adalah aktivitas manusia yang berdampak kepada peningkatan jumlah karbondioksida dan emisi gas rumah kaca (GRK). Aktivitas manusia yang berdampak pada peningkatan jumlah karbondioksida dan emisi GRK antara lain disebabkan oleh kebutuhan akan energi, dalam membangkitkan atau menciptakan energi,  manusia lebih banyak menggunakan bahan bakar minyak yang menghasilkan karbondioksida terutama pada sektor industri dan transportasi.  Selain kebutuhan akan energi, aktivitas manusia yang sangat berpengaruh yaitu, penebangan dan pembakaran hutan. Center For International Forestry Research (CIFOR, 2010) dalam sebuah Reportnya, menjelaskan bahwa Deforestasi (Penebangan) dan Degradasi Hutan menyebabkan bertambahnya jumlah karbondioksida sekitar 20 persen per- tahun, dan jumlah ini jauh lebih besar dari prosentase karbondioksida yang dihasilkan dari sektor transportasi, secara global. Report itu juga menegaskan bahwa, dari sekitar 32 Milyar Ton jumlah Karbondioksida yang di hasilkan manusia dalam setahun, sekitar 5 Milyar Ton dari total volume Karbondioksida yang dilepaskan tersebut, di serap kembali oleh Hutan. Mengurangi jumlah emisi Gas Rumah Kaca dan Karbondioksida adalah solusi yang harus dilakukan terkait dengan Climate Change. Ada 2 (dua) hal yang sekarang ini dilakukan Negara- negara dalam menghadapi Climate Change, yaitu pencarian sumber- sumber energi terbarukan (renewable energy) untuk pemenuhan kebutuhan energi, dan solusi yang kedua, yaitu pelestarian hutan. Solusi pertama (renewable energy) banyak di lakukan di negara- negara maju, sedangkan di negara- negara yang baru berkembang, kebanyakan menjalankan solusi kedua, mengandalkan hutan sebagai sarana penyerapan karbondioksida yang terjadi secara natural. Terkait dengan hutan dan pembangunan daerah, sejak memasuki Era Otonomi Daerah yang berlaku tahun 1999, pusat melegitimasi daerah untuk mengoptimalkan pendapatan dari  sumber- sumber kekayaan alam yang di anggap mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Policy ini, kadang di terjemahkan secara parsial oleh daerah- daerah tertentu dalam mengoptimalkan sumber- sumber kekayaan alam, termasuk hutan, di satu sisi dirasakan sebagai wujud untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan dalam membiayai pembangunan di daerah, tetapi tanpa pengawasan terkait kewajiban menjaga kelestarian alam, kebijakan ini tentu saja sangat merugikan masyarakat pada masa yang akan datang. Vitalnya hutan dalam konteks pengurangan emisi GRK dan Karbondioksida, sudah seharusnya menjadi fokus dari pembangunan yang akan di laksanakan. Menurut CIFOR dalam satu reportnya, menyatakan bahwa, 10 persen dari hutan dunia berada di Indonesia, tepatnya di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Artinya hutan di Indonesia memliliki peran yang cukup besar bagi upaya- upaya mereduksi emisi GRK dan Karbondioksida. Greenpeace Indonesia di tahun 2012, pernah merilis data kerusakan (deforestasi) hutan yang terjadi Provinsi Papua, yaitu sekitar 300 ribu hektar hutan papua telah rusak. Menurut CIFOR, deforestasi hutan banyak di sebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu : penggunaan lahan (land use), alih guna lahan (land use change) dan kehutanan (forestry). Terkait dengan pentingnya nilai hutan bagi dunia, perlu sekali di kembangkan pola pembangunan yang sustainable, bukan hanya sebatas konsep, tetapi benar- benar mengadaptasi konsep sustainable development dalam perencanaan pembangunan yang akan di laksanakan, terutama di Provinsi Papua.

Climate Change
Terminologi Climate Change di definisikan dalam berbagai pendapat, antara lain, menurut Oxford Dictionary : changes in the earth's weather, including changes in temperature, wind patterns and rainfall, especially the increase in the temperature of the earth's atmosphere that is caused by the increase of particular gases, especially carbon dioxide. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menerjemahkan Climated Change sebagai ......a change in the state of the climate that can be identified (e.g. using statistical tests) by changes in the mean and/or the variability of its properties, and that persists for an extended period, typically decades or longer. It refers to any change in climate over time, whether due to natural variability or as a result of human activity. Dari kedua defenisi diatas, ada beberapa hal yang menurut saya jadi inti dari pada defenisi tersebut, yang pertama, perubahan iklim, yang menyangkut cuaca, seperti curah hujan, kenaikan suhu atau temperatur di suatu wilayah, kedua, perubahan itu bisa terjadi secara periodik dan dan dapat diukur dengan statistik atau berbagai indikator lain, dan yang ketiga, perubahan sebagaimana di maksud, lebih di sebabkan oleh karena ulah manusia (human activity) yang berdampak meningkatnya kadar karbondioksi da dan emisi gas rumah kaca. Secara umum ada 2 (dua) aktivitas manusia yang berdampak pada pelepasan (releasing) karbondioksida, yaitu penggunaan bahan bakar minyak (fuel) untuk menghasilkan energi, seperti mesin- mesin pabrik, dan sarana transportasi, serta yang berikut, kegiatan penebangan dan pembakaran hutan secara besar- besaran. Pelepasan Karbondioksida dan Emisi Rumah Kaca ini berdampak pada menebalnya selubung atmosfer, sehingga panas terperangkap, panas itu kemudian dipantulkan kembali ke bumi. “Selubung” Emisi Rumah Kaca yang terbentuk secara alami di lapisan troposfer - kurang lebih 1% dari komposisi atmosfer keseluruhan – memiliki fungsi yang vital untuk iklim di bumi. Ketika energi matahari dalam bentuk gelombang tampak masuk dan menghangatkan permukaan bumi, bumi yang jauh lebih dingin daripada matahari kemudian mengemisikan energi tersebut kembali ke angkasa dalam bentuk gelombang inframerah atau thermal, radiasi. Emisi Rumah Kaca akan menghalangi radiasi inframerah tersebut agar tidak kembali keangkasa. Union Of Concerned Scientist, sebuah organisasi peneliti yang bermarkas di Amerika tahun 2011 merilis data negara- negara yang dengan kegiatannya industrinya ikut berpengaruh terhadap peningkatan emisi Karbondioksida, antara lain :

Negara
Total Emisi Karbondioksida dari konsumsi Energi
Rata- rata Emisi Karbondioksida dari konsumsi energi per individu
China
8715,31 juta metrik ton
  6. 52 metrik ton
Amerika Serikat
5449,63 juta metrik ton
 12. 62 metrik ton
Rusia
1788,14 juta metrik ton
 12. 55 metrik ton
India
1725,76 juta metrik ton
1. 45 metrik ton
Jepang
1180,62 juta metrik ton
   9. 26 metrik ton
Jerman
  748,49 juta metrik ton
   9. 19 metrik ton
Iran
  624,86 juta metrik ton
   8. 02 metrik ton
Korea Selatan
  610.95 juta metrik ton
  12. 53 metrik ton
Kanada
  552.56 juta metrik ton
  16. 24 metrik ton
Arab Saudi
  513.53 juta metrik ton
  19. 65 metrik ton
Inggris
  496.80 juta metrik ton
    7. 92 metrik ton
Brazil
  475.41 juta metrik ton
    2. 41 metrik ton
Meksiko
  462.29 juta metrik ton
    4. 07 metrik ton
Afrika Selatan
  461.57 juta metrik ton
    9. 42 metrik ton
Indonesia
  426.79juta metrik ton
    1.73 metrik ton


Dari tabel diatas, Indonesia berada di peringkat 15 sebagai negara yang berkontribusi terhadap meningkatnya karbondioksida, tempat teratas di duduki Cina, menyusul Amerika di tempat ke dua. Selain polusi (aktivitas transportasi) dan efek dari industri/pabrik dan lain sebagainya, Indonesia juga paling sering mengalami kebakaran hutan, yang juga menjadi sumber meningkatnya jumlah karbondioksida. Saat Karbondioksida meningkat, maka akan berpengaruh kepada meningkatnya suhu atau temperatur bumi. IPCC (Intergovernmental Panel On Climated Change) dalam Third Assesment Reportnya, menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi rata- rata sekitar 1 derajat celcius per 100 tahun. Pertanyaanya, apa yang akan terjadi bila suhu atau temperatur bumi ini meningkat?  Nicholas Stern, seorang anggota Grantham Research Institute on Climated Change and The Environment dari London School Of Economics pada tahun 2006 mengeluarkan sebuah report bagi pemerintah Inggris (Stern Review of Economics Challenge) Report atau Laporan setebal 700 halaman ini berkisar seputar, peluang- peluang ekonomi yang akan terjadi di masa depan. Inti dari report ini adalah bahwa, kalaupun Negara- negara maju bisa berhasil meningkatkan pembangunan ekonomi di masa depan, dampak climate change akan memangkas anggaran hingga mencapai 5 s/d 20 persen dari total nilai PDB (Produk Domestik Bruto) atau Pendapatan Kotor Negara itu sendiri. Report ini juga selain menyoroti peluang ekonomi, juga di sertai tinjauan tentang lingkungan, stern report menyatakan bahwa, ketika suhu udara di dunia naik 1 derajat celcius, dampak yang di hasilkan, antara lain, beberapa gletser kecil di Andes menghilang seluruhnya dan hal ini akan berdampak pada berkurangnya persediaan air bagi 50 juta orang, sekitar 300.000 orang setiap tahunnya meninggal karena penyakit akibat perubahan iklim (terutama diare, malaria, dan kekurangan gizi), lapisan es di belahan bumi utara mencair dan menyebabkan kerusakan jalan-jalan dan bangunan-bangunan di sebagian Kanada dan Rusia, dan setidaknya 10% spesies darat akan punah, 80% terumbu karang rusak, termasuk Terumbu Karang Great Barrier terbesar di dunia yang terletak di timur laut Australia. Dampak lingkungan secara global ketika suhu udara naik 2 derajat celcius menurut stern report  antara lain : air menyusut sebesar 20–30% di beberapa wilayah yang rentan, seperti Afrika bagian Selatan dan Mediterania, hasil panen diprediksi akan merosot tajam di wilayah-wilayah tropis (5-10% di Afrika), 40-60 juta lebih orang akan menderita malaria di Afrika, sekitar 10 juta orang lebih menderita banjir setiap tahunnya, 15-40% spesies terancam punah,  spesies Kutub Utara, misal beruang kutub dan karibu (rusa kutub), kemungkinan besar bisa punah, lapisan es Greenland mulai mencair tak terkendali.
Report ini sangat berdampak pada policy yang akan dikembangkan di Negara- negara berkembang, John Howard Perdana Menteri Australia di tahun 2006 setelah membaca report dari Profesor Stern langsung mengumumkan untuk mengalokasikan sekitar 60 juta US Dollar terkait kegiatan yang bertujuan untuk mereduksi emisi GRK dan Karbondioksida. Fakta ini membuktikan bahwa, Climate Change benar- benar persoalan global, karena walaupun tidak termasuk dalam daftar negara- negara yang berkontribusi pada meningkatnya Emisi GRK dan Karbondioksida, namun Australia juga akan terkena dampak, seperti Laporan yang di buat Prof. Stern, hal ini sesuai dengan seruan Ban Ki- Moon di awal tulisan ini, bahwa Climate Change adalah masalah global, untuk menyelesaikan persoalan ini, kita tidak bisa berjalan sendiri, kita perlu berpikir secara global dan bertindak juga secara global.

Adaptasi Konsep Sustainable Development dalam perencanaan Pembangunan Daerah di Provinsi Papua.
Tujuan Pembangunan Nasional seperti tertulis dalam Mukadimah UUD 1945, yaitu : untuk mencapai kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Cita- cita luhur ini menjadi dasar dari semua program- program pembangunan yang akan di laksanakan. Artinya, apapun yang di lakukan Pemerintah menyangkut perencanaan pembangunan di daerah, haruslah berdampak kepada kesejahteraan rakyat secara luas. Paradigma awal yang selama ini ada di mind set atau benak baik penduduk asli Papua, maupun penduduk Indonesia secara keseluruhan adalah bahwa, Papua dengan total luas wilayah sekitar 309.934.4 km2, dan kepadatan penduduk 2.831.381 jiwa, merupakan daerah yang kaya dengan potensi Sumber Daya Alam, baik Hutan, Perairan, Pertambangan, dan lain sebagainya. Paradigma ini di satu sisi meningkatkan pride (kebanggaan) dan dignity (martabat) bukan saja orang Papua tetapi juga bangsa Indonesia secara umum, sebagai konsekuensi dari integrasi Papua ke NKRI. Namun paradigma ini juga berdampak pada pola perencanaan pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Data Greenpeace pada bagian awal tulisan ini juga turut memberikan bukti bahwa, pola perencanaan pembangunan di papua, belum sepenuhnya mengadaptasi konsep sustainability development. Defenisi Sustainability Development kebanyakan mengikuti defenisi dari Burtland (1997) “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” terjemahannya konsep pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Membandingkan defenisi dari konsep sustainability dan tujuan pembangunan nasional yang tercantum dalam UUD 1945, setidaknya ada sedikit perluasan makna. Kesejahteraan menurut UUD 1945, bisa saja di terjemahkan untuk kesejahteraan masyarakat hari ini, berbeda dengan konsep sustainable yang bertujuan bukan saja untuk kebutuhan masyarakat hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang (berkelanjutan). Konsep Sustainable Development ini dikenal sejak tahun 1972, saat berlangsung Konferensi PBB di Stockholm Swedia, yang pada akhirnya membentuk United Nation Environment Programme (UNEP). Konsep Sustainable Development ini kemudian di adaptasi lebih lanjut ke dalam perencanaan pembangunan di negara- negara berkembang, seperti negara- negara di kawasan Mediterannia (Mediterranian Action Plan) yang mengadaptasi konsep pembangunan ini. Mengapa konsep Sustainable Development ini begitu penting untuk di laksanakan di berbagai negara? Konsep Sustainability, bukan saja menembus batas waktu (terkait dengan generasi setelah kita), konsep ini juga menuntun kita untuk berpikir menembus ruang, sebagai penduduk dunia, dimanapun kita berada, kita pasti akan terkena dampak dari yang namanya climate change, contoh, pembakaran hutan yang terjadi di Indonesia dan menghasilkan peningkatan jumlah Emisi GRK dan Karbondioksida di atmosfer, sudah pasti akan berdampak ke mencairnya es di benua antartika. Intinya konsep Sustainability mengajak kita melihat dunia ini sebagai suatu sistem, sistem yang menghubungkan kita dengan waktu, dan sistem yang menghubungkan kita dengan ruang. Paradigma Papua sebagai wilayah yang luas dan memiliki kekayaan baik hutan dan sumber daya lain, sudah seharusnya di rubah. Dengan berpola pikir kritis, dan global, kita mampu membuat perencanaan pembangunan yang memikirkan generasi di masa datang dan juga papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dunia. Konsep kunci dari Sustainable Development berada pada dua hal, yaitu :
Kebutuhan, yakni kesadaran akan adanya kebutuhan masyarakat miskin di negara- negara lain (negara berkembang).
Keterbatasan, yakni adanya keterbatasan dari teknologi dan organisasi sosial yang berkaitan dengan kapasitas lingkungan untuk mencukupi kebutuhan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Ada sebuah pembelajaran berharga dari negara kecil yang dulunya sangat kaya di Kepulauan Pasifik, Republik Nauru. Nauru dikenal juga dengan Pleasent Island, negara ini merupakan Republik terkecil di dunia, dengan luas sekitar 21 km2, dan populasi penduduk sekitar 9 ribu jiwa. Di tahun 1940-an Nauru begitu terkenal karena kandungan fosfatnya. Penduduknya benar- benar menikmati hidup yang sejahtera, karena segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan masyarakat di subsidi seluruhnya oleh Negara, yang pendapatannya meningkat dari pertambangan fosfat. Sampai akhirnya Negara ini dinyatakan bankrut, karena persediaan fosfat telah habis setelah ditambang selama hampir 90 tahun. Sampai hari ini Nauru mewarisi Hutang Luar Negeri, polusi akibat penambangan yang tidak memikirkan kelanjutan (sustainable) keseimbangan dan kelestarian lingkungan, dan mereka hanya bisa mendapatkan devisa dari menyewakan pulaunya ke Pemerintah Australia sebagai tempat penampungan pengungsi dari Timur Tengah. Ini hanya potret dari kesalahan perencanaan yang tidak memikirkan keberlanjutan (sustainable) dari sebuah program pembangunan. Mudah- mudahan konsep Sustainable Development yang sudah tidak asing, dan mungkin sudah di praktekkan di Papua, bisa benar- benar di laksanakan, tidak terbatas hanya pada konsepnya saja. Semoga tulisan ini bermanfaat, salam hormat.......






Tidak ada komentar:

Posting Komentar