Jumat, 28 November 2014

Otsus Papua, Kebijakan Khusus dengan Regulasi Umum

“There is never underdeveloped countries, there is always undermanaged countries.” 
(Peter.F.Drucker)

Papua dan Perbedaan

Ada beberapa hal yang selalu membedakan Provinsi Papua dengan daerah lain di Indonesia. Dari aspek budaya, penduduk Papua berasal dari ras melanesia, memiliki budaya yang berbeda dengan penduduk di sebagian besar wilayah Indonesia yang notabene berasal dari ras melayu. Melanesia adalah ras yang mendiami wilayah pasifik, sampai ke Timor Leste dan juga Maluku Dari aspek Sejarah, Belanda dahulu menamai wilayah jajahan yang lain di Indonesia dengan sebutan Nederlands Indie, berbeda dengan Papua yang di sebut Nederlands Nieuw Guinea, Papua baru resmi bergabung dengan Republik Indonesia di Tahun 1969, setelah diadakannya Pepera (hampir 20 tahun setelah Proklamasi) Dari aspek Politik : Belanda pada masa- masa sebelum berakhir kekuasaannya di Papua telah mendidik sekelompok intelektual Papua, dan mempersiapkan perangkat- perangkat untuk mendirikan sebuah negara, seperti membentuk Dewan Perwakilan Rakyat (New Guinea Raad), menetapkan lagu kebangsaan, dan bendera negara. Dari aspek Ekonomi dan Moneter : karena perbedaan- perbedaan mendasar seperti tersebut diatas, maka baik Belanda maupun Bung Karno pada awalnya, sudah memberikan kekhususan. Fakta seperti pemberlakuan mata uang New Guinea Gulden pada jaman Belanda  dan Rupiah Irian Barat, merupakan salah satu hal yang tidak terbantahkan, bahwa memang Papua di lihat berbeda dari dulu. Dalam Penpres (Penetapan Presiden) tanggal  21 Februari Tahun 1963, yang di tanda tangani oleh Bung Karno, di tetapkan mata uang yang berlaku di Irian Barat pada tahun 1963 (Rupiah IB), dimana ditetapkan bahwa kurs Rupiah Irian Barat pada waktu itu 1 Rupiah IB sama dengan 18,9 Rupiah.


Uang Nieuw Guinea Gulden yang di cetak Belanda, khusus berlaku 
di Papua pada tahun 1950


Uang Rupiah Irian Barat yang di cetak tahun 1963

Dalam Konstitusi (UUD 1945) pasal 18 B ayat (1) dan (2), tertulis dengan jelas bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU (ayat 1), yang berikut, negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan, yang diatur dalam undang- undang. Pengaturan dalam konstitusi tersebut sesuai dengan semboyan Negara "Bhineka Tunggal Ika" (Unity in Diversity) artinya semua perbedaan yang nampak dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dianggap sebagai Warisan Budaya Kekayaan Bangsa yang tetap di harus jaga dan dihormati. Memberikan ruang untuk aktualisasi jati diri dari masing- masing suku atau ras merupakan wujud nyata pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan tersebut. 

Sejarah Otsus Papua
Sejarah lahirnya Otsus Papua tidak terjadi dengan sendirinya, semuanya melalui gejolak- gejolak politik dan sosial yang terjadi di masyarakat. Setelah tumbangnya rezim Soeharto dan Orde Baru, kebebasan mengeluarkan pendapat seakan mengemuka di seantero negeri. Sistem Sentralisasi yang selama ini dipraktek kan selama hampir 35 tahun, menyebabkan kekecewaan yang mendalam di hati tokoh dan masyarakat di daerah, tidak terkecuali  di Papua, karena telah terjadi disparitas (ketimpangan) pembangunan antara wilayah Indonesia Bagian Barat, terutama Pulau jawa, dengan daerah- daerah di wilayah Timur, padahal sumber devisa negara yang terbesar, baik dari Pertambangan, Perikanan, Kehutanan, dan lain sebagainya berasal dari wilyah timur. Momentum Reformasi dirasakan sebagai saat yang tepat untuk menyampaikan aspirasi dan keinginan dari wakil- wakil rakyat (elit) papua pada waktu itu. Di bulan februari 1999, 100 orang tokoh masyarakat Papua di bawah pimpinan Tom Beanal, menghadap Presiden B.J Habibie di Jakarta untuk menyampaikan keinginan merdeka (disintegrasi). Jawaban Presiden B.J Habibie "pulang dan renungkan" sempat jadi headliner di beberapa media baik lokal, maupun nasional, dan sinyalemen penolakan inipun sangat jelas dari bahasa yang di lontarkan oleh Presiden Habibie. Terlepas dari penolakan Presiden Habibie banyak pengamat dan pemerhati masalah Papua, sepakat bahwa di tahun 1999- 2000 adalah tahun kebangkitan papua (Papuan Spring). Papuan Spring ini terjadi di masa pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang memberikan ruang kepada masyarakat Papua untuk mengibarkan bendera bintang kejora berdampingan dengan bendera merah putih, dan juga mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, bahkan Gus Dur juga mendukung pelaksanaan Kongres Papua di tahun 2000 di Jayapura yang menghadirkan wakil- wakil rakyat Papua baik dari dalam maupun dari luar negeri, untuk duduk bersama membicarakan status dan masa depan Papua. Aspirasi yang berkembang di kalangan rakyat papua pada umumnya adalah keinginan untuk melepaskan diri (merdeka), keinginan ini juga di sampaikan dalam kongres Papua tahun 2000. Partnership for Governance Reform dalam satu reportnya menulis bahwa : Otsus Papua terlahir sebagai penyelesaian konflik win- win solution antara rakyat Papua yang berkeinginan terlepas dari NKRI dan Pemerintah RI yang kokoh teguh mempertahankan NKRI. Setelah melewati tahapan yang panjang, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua akhirnya di tanda tangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 21 Nopember 2001.

Substansi dan Implementasi Otsus Papua

Apa perbedaan antara Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus? Apakah benar Papua di bedakan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah? Untuk menjawab pertanyaan prinsip ini kita mulai dengan membandingkan defenisi keduanya. Defenisi Otonomi Daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan defenisi dari Otonomi Khusus seperti yang tertulis dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Dari kedua defenisi ini sepertinya tidak ada yang berbeda, sama- sama memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus. Secara substansial ada 3 (tiga) hal mendasar yang menjadi muatan kekhususan dari UU 21 Tahun 2001, yaitu : Peristilahan : Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di tingkat Provinsi, Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi), Distrik, dan Kampung, merupakan kekhususan dari sisi Istilah. Berikut, Kelembagaan : UU Otsus Papua membentuk beberapa Lembaga yang bersifat khas Papua, lembaga- lembaga tersebut, antara lain : Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural Rakyat Papua, yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak- hak orang asli papua, selain itu adanya ketentuan tentang Lambang  Daerah sebagai simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan, dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), yaitu peraturan daerah khusus papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU Otsus. Keuangan : ada 4 (empat) kekhususan hak keuangan yang di miliki oleh Papua sesuai UU Otsus, yaitu pertama : prosentase dana perimbangan dari pertambangan minyak bumi sebesar 70 persen selama 25 tahun, memasuki tahun ke- 26 turun ke 50 persen, kedua : prosentase dana perimbangan dari pertambangan gas bumi / alam sebesar 70 persen selama 25 tahun, ketiga : Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otsus dengan prosentase senilai 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, yang di tujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, ke- empat : dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otsus yang ditetapkan antara pemerintah dan DPR- RI berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun, terutama di tujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Diatas sudah di sebutkan bahwa, kekhususan Papua dalam UU Otsus, berpijak kepada Istilah, Kelembagaan dan Keuangan, namun dalam implementasinya, perwujudan kekhususan Papua dalam era Otsus, sangat bergantung kepada kebijakan masing- masing rezim yang berkuasa. Era Gusdur dengan Papua Spring yang kemudian melegitimasi pengibaran bendera bintang kejora, berdampingan dengan bendera merah putih, tidak bisa di temui pada 10 tahun pemerintahan rezim SBY, pasca di keluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, tetapi dalam era SBY juga di keluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua, yang memberikan landasan operasional dan legalitas berdirinya Lembaga Kultural tersebut. Hal yang krusial adalah menyangkut keuangan. Dana Otsus yang begitu besar, di kucurkan ke Papua, tanpa di sertai dengan regulasi yang mengatur bagaimana mekanisme pencairan, dan alokasi penggunaan serta pertanggungjawaban yang jelas, pasti akan menimbulkan persoalan- persoalan baru yang secara langsung berdampak pada pemanfaatan, dan peruntukkan Dana Otsus tersebut. Sebagai konsekuensi Negara Hukum (Rechstaat, bukan Machstaat), semua kebijakan yang akan di ambil, sudah seharusnya di landasi dengan aturan yang jelas. Maraknya kasus penyalahgunaan Dana Otsus, bahkan menurut Laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI Hasil audit BPK menunjukkan, penyimpangan dana ini mencapai Rp 4,12 triliun selama periode 2002- 2010. "Dari Rp 19,12 triliun yang diperiksa, Rp 4,12 triliun di antaranya menyimpang penggunaannya," kata Rizal kepada KONTAN (lihat http://www.bpk.go.id/news/bpk-sorot-dana-otsus-papua-rp-41-t), menurut saya harus segera di cari solusi menyangkut regulasi. Mengingat selama ini, walaupun Otsus adalah sebuah kekhususan yang diberikan Negara kepada Pemerintah Provinsi Papua, tetapi dalam implementasinya, kebijakan Otsus masih tetap di jalankan dengan menggunakan aturan- aturan yang bersifat umum, sama seperti daerah- daerah lain di Indonesia. Pelaksanaan Otonomi Daerah erat kaitannya dengan penyerahan kewenangan Pemerintah Pusat terkait pelayanan atau urusan pemerintahan yang selama ini di kelola oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian penyerahan kewenangan tersebut selalu di sertai dengan pendanaan yang akan di gunakan, itu sebabnya dalam regulasinya, selalu berurutan, Otonomi Daerah, Kewenangan yang akan diserahkan, kemudian Pendanaan atau Keuangan. Di tahun 1999 ketika Otonomi Daerah mulai di berlakukan dengan di tetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah kemudian menetapkan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, sebagai konsekuensi dari Negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental, sumber hukum yang menjamin legalitas dilaksanakannya sebuah kebijakan, selalu dalam wujud atau bentuk tertulis (berbeda dengan sistem anglo saxon). Dampaknya jelas selalu ada ketentuan turunannya (untuk implementasi kebijakan dalam level teknis). Turunan atau aturan spesifik dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah serta PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, kedua Aturan ini (PP 105/2000 dan PP 108 tahun 2000) di jabarkan lebih teknis lagi dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan Keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran Pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha Keuangan Daerah dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan Belanja daerah. Dalam prosesnya kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia kemudian di revisi pasca di berlakukannya UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang  Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Seperti diatas, konsekuensi Negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental, mengharuskan adanya regulasi yang mendasari di laksanakannya sebuah kebijakan dan harus dalam bentuk yang tertulis. Ketiga UU tersebut diatas, ketentuan teknisnya di laksanakan dengan di tetapkannya PP Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian dijabarkan lebih spesifik dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Penjabaran aturan dan mekanisme pengelolaan keuangan daerah seperti diatas, hanyalah sebuah flashback untuk membandingkannya dengan pengaturan keuangan terkait pemanfaatan, dan pertanggungjawaban Dana Otsus dalam pengelolaan keuangan daerah. Pertanyaan intinya, dimana posisi pengaturan tentang penggunaan Dana Otsus dalam regulasi- regulasi tersebut? Sebagai kebijakan yang di jalankan di daerah bukankah Otsus juga berasal dari Keuangan Negara? Ketidak jelasan regulasi tentang pengelolaan Dana Otsus ini sangat tergantung dengan perencanaan sistem pengelolaan keuangan yang seharusnya telah di buat oleh Pemerintah Pusat. Mengingat Otsus adalah kebijakan kekhususan, sangat di perlukan regulasi yang bersifat lebih spesifik dalam hal pengelolaan, pemanfaatan dan pertanggungjawaban dana otsus. Dalam kurun waktu 13 Tahun ini pengelolaan terkait Dana Otsus dilaksanakan dengan menggunakan aturan- aturan yang bersifat umum, sama seperti daerah- daerah lain di Indonesia, kasarnya Papua melaksanakan Otonomi Khusus dengan regulasi keuangan Otonomi Daerah, dan dampaknya jelas timbul pertanyaan, dimana sebenarnya kekhususan Papua dalam era Otsus? Apakah kekhususan dalam memanfaatkan Dana Otsus untuk kepentingan segelintir elit papua di sumbu kekuasaan? ataukah sebuah perangkap yang sedang disiapkan untuk menangkap sebanyak mungkin good guy yang tiba- tiba bisa berubah jadi bad guy hanya karena silau dengan besarnya dana tanpa regulasi yang jelas, sehingga hal ini dilihat sebagai peluang untuk memperkaya diri sendiri (korupsi). Demi Keadilan dan kemajuan bangsa ini, harapan saya semoga persoalan ini bisa menjadi catatan- catatan penting yang harus dilihat lebih jeli oleh para pengambil kebijakan baik di level lokal maupun nasional. Semoga tulisan ini bermanfaat, SALAM..... 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar